Bahteranews.com – Issue penundaan pemilu/perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden akhir-akhir ini marak dibicarakan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, yang kemudian menjadi polemik akibat adanya perbedaan respon pro dan kontra terhadap issue tersebut.
Oleh karena hal tersebut menciptakan polemik ditengah masyarakat, maka Direktur Eksekutif Forum Demokrasi Milenial (Freedom) Indonesia, Muhammad Ilham menyampaikan suatu sintesis yang dapat menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat, “Saya ingin menyampaikan dalam kesempatan ini mengenai beberapa hal yang menjadi pendapat saya sebagai Direktur Eksekutif Freedom Indonesia bahwa terkait dengan polemik diskursus perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden, saya mencoba melihat dalam dua perspektif;
Pertama, apabila menggunakan perspektif ketatanegaraan sebagai hukum yang mengatur mengenai organisasi kenegaraan maka dapat dikatakan bahwa terdapat pergeseran makna antara ajaran trias politica yang diperkenalkan oleh montesquieu dengan praktek kekuasaan lembaga negara di Indonesia. Ajaran trias politica yang diajarkan oleh montesquiue lahir sebagai upaya untuk mewujudkan suatu pemisahan secara tegas terhadap tugas masing-masing kelembagaan yaitu Legislatif (sebagai pembentuk undang-undang), Eksekutif (sebagai pelaksana undang-undang), dan Yudikatif (sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman), di Indonesia yang menerapkan prinsip Checks and Balances dengan harapan menciptakan suatu kondisi kekuasaan kelembagaan negara yang berimbang dan saling mengontrol antara satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi abuse of power dan pemusatan kekuasaan apabila salah satu lembaga negara memiliki kedudukan paling tinggi.
Baca Juga: https://bahteranews.com/2022/03/14/big-data-vs-konstitusi-diadu-demi-tunda-pemilu/
Pada prakteknya konsep kekuasaan pemerintahan di Indonesia justru lebih menempatkan kekuasaan eksekutif (presiden) lebih dominan ketimbang kekuasaan lembaga negara lain, Meskipun kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan sedangkan sebagai kepala negara presiden oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberi kewenangan dalam pasal 10 ayat (1) yang menyatakan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, namun dominasi kekuasaan presiden selalu mendapatkan porsi yang lebih besar, mulai dari UUD 1945 sebelum dan pasca amandemen, apabila memperhatikan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa presiden diberikan kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, selanjutnya pada pasal 22 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa maka presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan undang-undang bukanlah an sich merupakan kewenangan Legislatif. Sehingga praktek abuse of power menjadi suatu indikasi dalam issue perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi presiden, terlebih memang praktek pergantian kekuasaan di Indonesia menggunakan sistem pengusulan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik, sehingga memungkinkan bagi eksekutif dalam hal ini presiden mengintervensi untuk dilakukan amandemen terkait masa jabatan presiden.
Apabila pertanyaan tentang dapat atau tidak dilakukan perpanjangan masa jabatan atau periodesasi presiden, maka kacamata diatas tentu memberikan jawaban bahwa perpanjangan masa jabatan presiden atau perpanjangan periodesasi masa jabatan presiden memungkinkan dilakukan dengan cara amandemen, tetapi tentu akan melahirkan implikasi buruk terhadap pergantian kekuasaan di indonesia karena pemimpin berikutnya bahkan dengan glorifikasi peristiwa amandemen hari ini, maka justru dapat menambah sampai empat periode, lima periode dan seterusnya.
Kedua, apabila menggunakan perspektif ketatanegaraan sebagai constitusional Law atau hukum konstitusi maka dapat dikatakan bahwa penambahan masa jabatan dan periodesai presiden merupakan praktek yang inkonstitusional dikarenakan didalam konstitusi UUD 1945 masa jabatan presiden hanya diatur 2 periode dan tidak terbuka ruang untuk melakukan perpanjangan masa jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang menyatakan presiden memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama dengan 1 (satu) kali masa jabatan, artinya konstitusi kita memerintahkan dilaksanakan pergantian kekuasaan sekali dalam 5 tahun dan hanya 2 periode, itu artinya terjadi absensi of law apabila akan memaksakan penambahan masa jabatan dan penambahan periodesasi presiden.
Baca Juga: https://bahteranews.com/2022/02/26/muncul-gejala-insubordinasi-berkonstitusi/
Sebagai sintetis dalam polemik ini maka kami menyampaiakan bahwa apabila mengacu pada asas pembentukan hukum maka transformasi untuk melakukan amandemen memang menjadi penting untuk dilakukan, karena pada dasarnya prinsip hukum positif itu het recht hintk achter de feiten (tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman), sebagaimana dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah Ius Constitum dan Ius Constituendum, sebagai upaya untuk menciptakan suatu norma yang lebih ideal sehingga kepentingan perubahan masa jabatan presiden sebenarnya bisa saja dilakukan, namun tidak sebagai Ius Constitutum dengan memberlakukannya untuk mengatur pemerintahan saat ini, namun, hal tersebut dilakukan untuk mengatur pemerintahan yang akan datang atau Ius Constituendum. Sehingga ruang praktik abuse of power tidak terjadi dalam pergantian kekuasaan di Indonesia.
Oleh: Muhammad Ilham, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia.