‘Armageddon’ Rusia vs Ukraina? Ketika Tombol Nuklir Berkedip Merah
Bahteranews.com – Kilatan api membumbung menyisakan jilatan jelaga hitam terlihat diberbagai titik di Ukraina. Suara sirene tanda bahaya meraung-raung seantero negeri. Aksi borong kebutuhan pokok warga terjadi secara besar-besaran dan menyebabkan stok sembako di toko/supermarket habis tak bersisa. Aksi borong senjata terjadi di toko-toko penjual berbagai jenis senjata sebagai upaya pertahanan diri. Sementara itu antrian panjang mengular, kendaraan warga Ukraina tampak di jalan-jalan utama kota yang akan mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Disisi lain moda transportasi umum dikerahkan pemerintah Ukraina untuk mengevakuasi warga mereka terutama wanita, anak-anak, dan lansia. Otoritas keamanan Ukraina menyerukan agar warganya bisa berlindung du stasiun kereta api bawah tanah untuk menghindari serangan rudal dan roket pasukan Rusia.
Suasana mencekam dan haru juga nampak di negeri pemain sepakbola legendaris Savchenko dan bek Manchester City Oleksandr Zinchenko ini. Anak-anak bersama orangtuanya berlari ke area aman disela-sela iringan tank canggih pasukan Rusia. Suara lirih dan tangis pecah di seantero negeri, berharap dan bersimpuh agar perang segera berakhir.
Perang dalam sejarah hanya menyisakan kehancuran, kesengsaraan, kepedihan, tangis dan air mata. Perang hanya menyisakan anak-anak yang harus kehilangan orangtua, kehilangan rumah, pendidikan, dan kesempatan bermain. Perang hanya menyisakan orang-orang cacat, dan hancurnya infrastruktur dan ancaman kelaparan. Kita berharap perang Rusia-Ukraina segera diakhiri. Kepada Rusia melalui Presiden Vladimir Putin untuk segera menghentikan serangan militer yang telah menewaskan ratusan rakyat tak berdosa. Mari kembali meja perundingan dan diplomasi.
Invasi Rusia ke Ukraina merupakan babak baru perang terbuka menggunakan kekuatan militer abad ini. Di tengah kekhwatiran masyarakat internasional atas aksi perang modern ini, Rusia sepertinya sama sekali tidak bergeming. Seruan dan ancaman sanksi ekonomi dari PBB dan dunia internasional yang dimotori aliansi negara-negara yang tergabung dalam NATO sebagai sekutu utama Amerika Serikat tak menyulutkan Vladmir Putin. Bahkan Sekjen PBB harus memelas dengan Rusia agar menarik pasukannya dari wilayah berdaulat Ukraina demi kemanusiaan dan perdamaian.
Sementara itu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sendiri mengalami frustasi berat di tengah gempuran rudal dan tank canggih yang terus membombardir instalasi vital negara yang dulu menjadi bagian dari Uni Soviet tersebut. Terakhir pembangkit listrik bertenaga Nuklir Chernobyl sudah dikuasai pasukan Rusia, termasuk bandara udara penting Hostomel yang menghubungi Ukraina dengan wilayah lainnya. Ukraina sekarang nyaris terisolasi dan kian dekat dalam penguasaan penuh Rusia.
Informasi terupdate dikabarkan saat ini iringan konvoi tank dan pasukan elit Rusia hanya berjarak sekitar 50 kilometer merengsek ke Ibukota Ukraina, Kiev. Jika Kiev berhasil dikuasai maka secara teori invasi Rusia telah berhasil mengokupasi negara tersebut maka babak baru dimulai yaitu; akan berdiri negara boneka yang pro Rusia, sebelum terbentuk pemerintahan baru dipastikan Ukraina dalam kendali penuh Rusia.
Di tengah semakin memburuknya situasi dikabarkan juga tentara Ukraina mengalami tekanan psikologis besar. Banyak tentara Ukraina mangkir dari perang dan kewajiban mempertahankan kedaulatan negaranya. Hal ini dipicu tidak berimbangnya kekuatan militer mereka dengan Rusia. Dilaporkan kantor berita Association Press (AP) beberapa jet tempur milik Ukraina lari dari tanggung jawab perang dan masuk ke wilayah Rumania.
Baca Juga: https://bahteranews.com/2022/02/26/muncul-gejala-insubordinasi-berkonstitusi/
Presiden Ukraina sendiri semakin melemah, beberapa kali pidatonya di televisi nampak putus asa dan berharap kebaikan hati Rusia untuk menghentikan serangan dan meminta perundingan. Namun, permintaan Presiden Ukraina tidak mendapat respon positif dari Putin. Malah sebaliknya, Putin bersedia berunding dengan syarat agar militer Ukraina segera menyerahkan diri. Sebuah permintaan bunuh diri jika syarat ini dipenuhi Ukraina. “Kami sekarang berjuang sendiri untuk mempertahankan kedaulatan negara. Sampai saat ini NATO dan negara-negara barat sama sekali tidak ada tindakan nyata untuk menolong kami dari gempuran Rusia” penggal pidato frustasi Presiden Ukraina disebuah stasiun televisi. Beredar juga pernyataan Volodymyr Zelensky diberbagai media “Mungkin anda akan terakhir kalinya melihat saya”
AS dan sekutu yang tergabung dalam NATO sepertinya bungkam, hanya pernyataan psywar saja tanpa tindakan konkrit membantu Ukraina dari caplokan Rusia. Sementara Presiden Rusia terus memberikan tekanan psikologis kepada barat untuk tidak coba-coba ikut campur dalam perang ini jika tidak mau mendapatkan balasan yang tidak pernah terbayangkan. Putin siap merubah warna tombol rudal berhulu ledak nuklir dari hijau menjadi merah jika mereka merasa terancam. Kalau ini terjadi mungkin itulah yang disebut “Armageddon” atau “Harmagedon” yaitu kondisi merujuk kepada akhir zaman atau bencana apokaliptik besar dan dahsyat dalam berbagai agama dan budaya. Yakni, suatu kondisi kekalahan besar dalam peperangan sehingga banyak orang yang meninggal atau penggunaan senjata pemusnah massal.
Ancaman Armageddon atau Harmagedon inilah juga mungkin membuat nyali negara-negara barat sekutu utama AS kehilangan nyali melawan “kepongahan” Rusia. Sebagai negara adikuasa, Rusia bukan lawan yang bisa dianggap remeh. AS dan sekutunya boleh “pongah” di perang Timur Tengah karena berhadapan dengan musuh yang lemah tapi hal yang sama tidak berlaku untuk perang di Semenanjung Korea dan Savana Rusia.
Apa yang bisa dilakukan Indonesia? Indonesia sebenarnya memiliki peran dan posisi strategis dalam upaya perdamaian Rusia vs Ukraina. Sebagai Presiden G-20 dan anggota Non Blok, Indonesia bisa melakukan mobilisasi untuk menggalang dukungan bagi percepatan proses perdamaian. Pembukaan UUD NRI 1945 sangat tegas menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Ini artinya secara konstitusional Indonesia memiliki kewajiban untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia. Namun, arah politik luar negeri kita belakangan ini bergeser dari politik bebas aktif menjadi politik bebas pasif. Tidak banyak peran yang dilakukan Indonesia dalam mencegah konflik internasonal, kecuali hanya dukungan doa. Dunia saat ini membutuhkan aksi nyata dari Indonesia secara diplomasi untuk segera mengakhiri konflik. Indonesian seharusnya berada garis terdepan memobilisasi dukungan internasional bagi upaya perdamaian Rusia-Ukraina.
Oleh: Elfahmi Lubis, Dosen Ilmu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Bengkulu.