Soal Masuknya Investor Sawit Ke Enggano, Juhaili Sebut Akan Membawa Masalah Baru
Arga Makmur – Wakil ketua I DPRD Kabupaten Bengkulu Utara Juhaili, mulai angkat bicara soal wacana masuknya investor perkebunan kelapa sawit skala besar ke pulau Enggano. Menurutnya, alih fungsi lahan skala besar dikhawatirkan akan membawa permasalahan baru yang lebih komplek, terutama soal terancamnya keberlangsungan ekosistem kawasan. Senin, 21 Februari 2022.
“Perkebunan kelapa sawit skala besar sangat tidak cocok dengan situasi kondisi pulau Enggano, akan lebih banyak rugi ketimbang untungnya,” ungkap Politisi partai Golkar ini.
Baca Juga: https://bahteranews.com/2022/02/16/yudi-kaitora-jangan-jadikan-pulau-enggano-menjadi-pulau-sawit/
Ia meminta semua pihak terkait, berfikir dan mengkaji secara matang terlebih dahulu, tidak usah terburu nafsu membawa investor masuk pulau Enggano, apalagi investor perkebunan sawit yang secara terang-terangan akan mengubah bentang alam serta tatanan sosio cultural masyarakat pulau terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.
“Kajiannya harus komperhensif, biasanya investor perkebunan kelapa sawit skala besar masuk ke suatu daerah, pasti selalu dengan iming-iming perbaikan perekonomian masyarakat setempat. Kita takut, bertambahnya pendapatan masyarakat sekitar tidak sebanding dengan beberapa persoalan yang akan timbul, mulai dari konflik kepentingan antar perusahaan dengan masyarakat sekitar hingga persoalan terancamnya kelestarian alam dan beberapa persoalan lain. Kita semua, harus belajar dari pengalaman ,” imbuhannya.
Ia melanjutkan, lebih baik memanfaatkan potensi yang ada, semisal memanfaatkan ekosistem hutan dan pantai Enggano yang indah dan eksotik menjadi industri pariwisata, atau menghadirkan investor pengolahan hasil laut dan pengolahan hasil kebun yang potensinya melimpah ruah di pulau seluas 40.060 hektar tersebut.
“Kesejahteraan masyarakat Enggano harus diperhatikan, tapi mengembangkan pulau enggano haruslah dengan penanganan khusus. Harus dengan skema tanpa merusak alam dan tatanan sosio cultural yang ada,” tutup Juhaili. (Dwa212).